Postmodernisme Dalam Pandangan Islam

GP. Purwokerto. Dewasa ini, arus informasi kian mudah didapatkan dan ditelusuri. Di era globalisasi, jarak bukan lah menjadi penghalang utama lagi, terlebih dengan adanya internet. Saat ini komunikasi tidak lagi selalu menggunakan PC atau laptop, teknologi smartphone yang semakin canggih membuat orang mudah untuk berkomunikasi. Mungkin dulu, untuk melakukan video call perlu mengocek rupiah dalam-dalam, tapi dengan adanya internet dengan aplikasi smartphone saat ini, kita bisa melakukan itu dengan gratis dan mudah. Inilah beragam kemudahan yang patut kita syukuri. Namun dibalik itu tentu kita banyak bertanya, mengapa tindak kriminalitas semakin meningkat, tingkat asusila semakin tak terbendung, bahkan anak SD pun sudah ‘terbiasa’ dengan hal tersebut, serta beragam pertanyaan lainnya.

Di era postmodernisme, masyarakat dikenal dengan masyarakat yang mengedepankan prestise. Masyarakat postmodern tidak lagi mengkonsumsi objek berdasarkan manfaat atau fungsi dari objek, tindak konsumsi didasarkan atas simbol dan prestise. Pembuatan teknologi tidak lagi dilatarbelakangi pemenuhan kebutuhan manusia. Awal mula muncul nya pemikiran postmodernisme ini adalah antitesis dari modernisme yang diawali karena kekecewaan terhadap kegagalan era modernisme yang lebih menitik beratkan pada perkembangan teknologi.

Pencetus pemikiran postmodernist, pertama kali adalah Arnold Toynbee (1939) yang memperkenalkan istilah postmodernisme untuk menggambarkan reaksi dalam lingkup modernisme. Toynbee dianggap sebagai pencetus istilah tersebut dibuktikan dengan bukunya yang terkenal berjudul Study of History. Menurut Bambang S. dalam bukunya Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat (2004) menyatakan bahwa prinsip postmodernisme adalah meleburnya batas wilayah dan pembedaan antar budaya tinggi dengan budaya rendah, antara penampilan dan kenyataan, antara simbol dan realitas, antara universal dan peripheral dan segala oposisi biner lainnya yang selama ini dijunjung tinggi oleh teori sosial dan filsafat konvensional.

Menurut Naisbitt kebangkitan agama di era postmodernisme adalah agama dalam pengertian spiritualitas, bukan agama organized religion. Persepektif yang berbeda ditemukan dari tokoh postmodernism sendiri seperti Lyotard mengganggap agama sebagai proses legitimasi yang diperoleh dari ‘Kisah Agung’ (metanarative, grandnarative).

Muncul nya pemikiran ini tidak lepas dari asas yang mereka anut sebelumnya, yaitu asas sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan). Dari asas inilah kemudian muncul beragam ide-ide derifat lainnya seperti liberalisme, pluralisme, dan sebagaimnya. Para pemikir seperti John Locke (1632-1704) dan Baron de Montesquieu menyerukan hak dasar manusia yaitu “life, liberty and property” sebagai suatu yang sangat diperlukan dalam menciptakan suatu pemerintahan dan hidup yang stabil, sehingga tidak terjadi lagi eksploitasi manusia oleh manusia yang lain, raja bukanlah figur suci yang mempunyai hak yang lebih di mata hukum dan lain-lain. Kemudian Voltaire dan Immanuel Kant yang sangat vokal terhadap pengekangan kebebasan atas nama tuhan oleh agama.

Padahal sudah jelas ide-ide seperti diatas adalah bertentangan dengan agama islam. Dimana sebagai seorang muslim tentu tujuan utama yang ingin dicapainya bukan lah sebuah prestise belaka. Tapi, mendapatkan Ridho Allah SWT. Baik itu dalam hal beribadah, mualamah, ataukah dalam hal urusan dirinya dengan diri nya pribadi, menyangkut makanan, minuman, dan pakaian. Terlebih Agama Islam adalah agama yang komprehensif dan universal. Maka tentu tidak ada hal yang tidak diatur dalam ajaran islam, baik itu dalam hal pribadi, masyarakat, maupun negara. Islam pula memberikan sebuah panduan yang jelas bagaimana untuk menggali beragam jawaban atas permasalahan aktual yang muncul saat ini. Menurut Al-Allamah Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Syakhsiyah Islamiyah Jilid 3, beliau menjelaskan bahwa sumber hukum islam yaitu Al-Qur’an, As Sunnah, Ijma Shabat, dan Qiyas. Maka, disana lah sesungguhunya peran seorang Mujtahid untuk melakukan penggalian hukum-hukum Islam untuk menjawab tantangan perubahan zaman. Maka, hanya agama Islam lah yang akan menjaqab segala tantangan perubahan zaman dengan tuntunan Rabbul Izzati.
Allah SWT berfirman :

“Barangsiapa mencari agama (diin) selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (TQS ali-Imran [3]: 85).

Pemikiran serta ide postmodernisme ini pun berbahaya, karena akan semakin menjauhkan Islam dari Kehidupan. Akan memberikan ruang bahwa agama hanya-lah sebuah ritualitas belaka. Sehingga menjadikan seluruh aturan kehidupan dikembalikan kepada manusia. Padahal sesungguhya manusia adalah makhluk yang lemah pun serba kekurangan. Maka, ide postmoderenisme yang bersumber pada asas sekulerisme ini perlu ditolak secara tegas, disamping memang tidak sesuai dengan ajaran-ajaran Islam terlebih lagi karena telah men-duakan peran Al-Khalik sebagai Al-Mudabbir (Maha Pengatur). Allah SWT menantang kita semua melalui kitabNya.

Allah SWT berfirman :
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS al-Maaidah [5]: 50).

Terakhir, pemikiran apapun yang berasaskan pada sekulerisme (Memisahkan agama dari kehidupan) adalah pemikiran yang bertentangan dengan ajaran Islam. Karena sekali lagi islam adalah agama yang sempurna. Karena dengan aturan islam tidak hanya manusia yang akan merasakan kebaikan namun, seluruh alam. itulah islam rahmatan lil’alamin.
Allah SWT berfirman :

وَما أَرْسَلْناكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعالَمِينَ
“Kami tidak mengutus engkau (Wahai Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia” (QS. Al Anbiya: 107). [2]. (Penulis : M Imaduddin S, Aktivitis GEMA Pembebasan Daerah Purwokerto)

Wallahu’alam Bishowab.

Sumber :
Dari berbagai sumber

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Postmodernisme Dalam Pandangan Islam"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel